‘’Bertaubatlah,
bertaubatlah, karena bulan Desember sampai Pebruari biasanya Allah SWT
akan menimpakan bala bencana kepada negeri kita, baik berupa bencana
alam maupun bencana kemanusiaan,’’ seru KH Ma’ruf Amien, Ketua MUI.
Bencana
itu, Kyai Ma’ruf menuturkan, selain disebabkan oleh perbuatan manusia
merusak alam, juga lantaran kemusyrikan sebagian umat bahkan tokoh
Islam. Yaitu mereka aktif dalam perayaan Natal (25 Desember), Tahun Baru
(1 Januari), dan Valentine’s Day (14 Pebruari).
Ya,
tak berlebihan bila Amien Rais menyebut psikologi pemerintah kita
bermental inlander. Salah satu ekspresinya adalah ‘’mewajibkan’’ diri
mengikuti Perayaan Natal Bersama (PNB). Padahal, Islam yang menjadi
agama anutannya dan merupakan agama mayoritas di negeri ini, tidak
pernah mengemis-ngemis kepada umat agama lain untuk turut dalam acara
IFB (Iedul Fitri Bersama), IAB (Idul Adha Bersama), MNB (Maulid Nabi
Bersama), atau IMB (Isra’ Mi’raj Bersama).
Menurut
anggota Komisi Kerukunan Umat Beragama MUI, DR Adian Husaini, PNB
hanyalah mitos yang patut dipertanyakan urgensinya. Sebab, kebersamaan
ini hanyalah agenda sepihak umat lain. Umat Islam tidak merasa berhak
dan perlu menuntut serupa atas umat lain, agar mengikuti semisal IFB,
MNB, atau IAB tadi.
Dalih
PNB untuk membina kerukunan antar umat beragama, juga mitos belaka.
Sebab, jelas Adian, dalam PNB biasanya dilakukan berbagai acara yang
menegaskan keyakinan umat Kristen terhadap Yesus, yang bertolak belakang
dengan ajaran Islam.
Menurut
Kristen, Yesus adalah anak Allah yang tunggal, juru selamat umat
manusia, yang wafat di kayu salib untuk menebus dosa umat manusia. Kalau
mau selamat, manusia diharuskan percaya kepada doktrin itu. (Yohanes,
14:16).
Sedangkan
dalam surat Maryam disebutkan, memberikan sifat bahwa Allah punya anak,
adalah satu “Kejahatan besar” (syaian iddan). Dan Allah berfirman dalam
al-Quran: “Hampir-hampir langit runtuh dan bumi terbelah serta
gunung-gunung hancur. Bahwasannya mereka mengklaim bahwa al-Rahman itu
mempunyai anak.” (QS 19:90-91).
Karena
itu, Prof Hamka menyebut tradisi PNB semacam itu bukan menyuburkan
kerukunan umat beragama atau toleransi, tapi menyuburkan kemunafikan.
Sebagian
aktivis PNB berkilah, toh tidak ada unsur misi Kristen dalam PNB.
Menurut Adian Husaini, melihat PNB hanya dari sisi kerukunan dan
toleransi tidaklah tepat. Sebab, dalam PNB unsur misi Kristen juga perlu
dijelaskan secara jujur. PNB adalah salah satu media yang baik untuk
menyebarkan misi Kristen, agar umat manusia mengenal doktrin kepercayaan
Kristen, bahwa dengan mempercayai Tuhan Yesus sebagai juru selamat,
manusia akan selamat.
Sebab,
misi Kristen adalah tugas penting dari setiap individu dan Gereja
Kristen. Konsili Vatikan II (1962-1965), mengeluarkan satu dokumen
khusus tentang misi Kristen. Dalam ad gentes ditegaskan, misi Kristen
harus tetap dijalankan dan semua manusia harus dibaptis. Disebutkan,
bahwa Gereja telah mendapatkan tugas suci untuk menjadi “sakramen
universal penyelamatan umat manusia (the universal sacrament of
salvation), dan untuk memaklumkan Injil kepada seluruh manusia (to
proclaim the gospel to all men). Juga ditegaskan, semua manusia harus
dikonversi kepada Tuhan Yesus, mengenal Tuhan Yesus melalui misi
Kristen, dan semua manusia harus disatukan dalam Yesus dengan
pembaptisan.
Dengan
memahami hakekat Natal dan PNB, seyogyanya kaum non-Muslim juga
menghormati fatwa MUI yang melarang umat Islam untuk menghadiri PNB.
Fatwa itu dikeluarkan Komisi Fatwa MUI pada 7 Maret 1981,
yang isinya antara lain menyatakan: (1) Mengikuti upacara Natal bersama
bagi umat Islam hukumnya haram (2) agar umat Islam tidak terjerumus
kepada syubhat dan larangan Allah SWT, dianjurkan untuk tidak mengikuti
kegiatan-kegiatan Natal.
Dalam
buku Tanya Jawab Agama Jilid II, oleh Tim PP Muhammadiyah Majlis
Tarjih, yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah (1991), hal. 238-240,
sudah diterangkan, bahwa hukum menghadiri PNB adalah Haram. Muhammadiyah
dalam hal ini juga mengacu kepada fatwa MUI. Adapun soal ”Mengucapkan
Selamat Hari Natal” dapat digolongkan sebagai perbuatan yang syubhat dan
bisa terjerumus kepada haram, sehingga Muhammadiyah menganjurkan agar
perbuatan ini tidak dilakukan.
Tahun Baru Masehi
Penetapan
1 Januari sebagai pertanda Tahun Baru bermula pada abad 46 Sebelum
Masehi (SM). Kala itu Kaisar Romawi Julius Caesar membuat Kalender
Matahari. Ia mengklaim kalender solar system ini lebih akurat ketimbang
kalender-kalender lain pernah dibuat sebelumnya.
Sebelumnya,
pada abad 153 SM, Janus seorang pendongeng di Roma yang menetapkan awal
mula tahun. Konon dengan dua wajahnya, Janus mampu melihat kejadian di
masa lalu dan masa depan. Dialah yang menjadi simbol kuno resolusi
(sebuah pencapaian) Tahun Baru. Bangsa Roma berharap dengan dimulainya
tahun yang baru, kesalahan-kesalahan di masa lalu dapat dimaafkan.
Sebagai penebus dosa, tahun baru juga ditandai dengan saling tukar kado.
Berdasarkan
hal ini, Ustadz Ihsan Tanjung menilai perayaan Tahun Baru sebagai
perbuatan tasyabbuh (meniru kebiasaan kaum kafir). Ia lalu mengutip
hadits shahih dari Anas bin Malik ra, bahwa saat Rasulullah SAW ke
Madinah, warga setempat memiliki dua hari besar untuk bermain-main. Lalu
Rasul bertanya, “Dua hari untuk apa ini?” Jawab mereka, “Dua hari di
mana kami sering bermain-main di masa lalu.” Maka Rasulullah SAW pun
berkata, ‘’Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian untuk
keduanya dua hari yang lebih baik dari keduanya: Iedul Adha dan Iedul
Fithri.”
Valentine’s Day
Pemkot
Bukittinggi, melarang remaja merayakan Valentine’s Day 14 Pebruari.
Bagi remaja yang terlihat merayakan bisa dianggap melanggar Peraturan
Daerah tentang Pemberantasan Maksiat.
Pebruari lalu, pemkot mengerahkan 100 satuan polisi pamong praja merazia hotel serta menangkap remaja yang berduaan di jalan.
Wakil
Wali Kota Bukittinggi Ismet Amzis, waktu itu menegaskan, perayaan Hari
Valentine’s Day terlarang mata karena tidak sesuai adat istiadat
Minagkabau dan ajaran agama Islam.
Valentine’s
Day menurut penggeledahan literatur ilmiah, sejarahnya berasal dari
upacara ritual agama Romawi kuno. Adalah Paus Gelasius I pada tahun 496
yang memasukkan upacara ritual Romawi kuno ke dalam agama Nasrani,
sehingga sejak itu resmi agama Nasrani menjadikannya hari raya baru.
The Encyclopedia Britania,
vol. 12, sub judul: Chistianity, menuliskan penjelasan: “Agar lebih
mendekatkan lagi kepada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I
menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi hari perayaan gereja dengan
nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentine yang
kebetulan mati pada 14 Februari (The World Encylopedia 1998).
Ketua
Dewan Syariah Nasional MUI KH Ma’ruf Amin menilai perayaan Valentine’s
Day yang jatuh pada tanggal 14 Februari esok, haram.
Meskipun
MUI belum memfatwakan keharamannya, menurut KH Ma’ruf Amien, perayaan
Valentine’s Day selama ini lebih banyak mengarah pada pesta-pesta dan
mabuk-mabukan, sehingga diharamkan. (taqiyuddin al baghdady/tabloid media umat edisi 3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar