Minggu, 18 Desember 2011

PENJELASAN LURUS BAGI MEREKA YANG JAHIL DAN TERPEDAYA (Itsbat 'Aqidah dan Sikap Yang Benar Terhadap Siksa Kubur)

SIKAP SEORANG MUSLIM TERHADAP HADITS AHAD SHAHIH
        Berdasarkan pendapat-pendapat ulama mu'tabar tentang hadits ahad, maka, sikap seorang Muslim terhadap khabar ahad shahih adalah sebagai berikut:
        Pertama, seorang Muslim wajib menerima hadits ahad yang telah terbukti keshahihannya –baik dari sisi sanad maupun matannya.  Seorang Muslim diharamkan menolak hadits-hadits ahad shahih, baik yang berbicara tentang amal maupun keyakinan.
        Kedua, hadits ahad shahih wajib untuk diamalkan (wujubul 'amal), dan absah dijadikan hujjah untuk perkara-perkara 'amaliyyah.
        Ketiga, hadits ahad shahih yang berbicara tentang keyakinan, cukuplah dibenarkan (dzann) karena sisi kebenarannya lebih kuat dibandingkan sisi kesalahannya.  Hanya saja, hadits ahad shahih tidak boleh (haram) dijadikan hujjah untuk mengitsbat perkara-perkara 'aqidah.  Pasalnya, hadits ahad shahih hanya menghasilkan dzann belaka, sedangkan perkara 'aqidah tidak boleh (haram) ditetapkan oleh dalil-dalil dzann, semacam hadits ahad shahih.
        Keempat, seorang Muslim dilarang menyematkan predikat kafir kepada orang-orang yang menolak berhujjah dengan dalil-dalil dzanniy (semacam hadits-hadits ahad, serta dalil-dalil yang dianggapnya dzanniy).[1]  Perhatikan penjelasan yang sangat terang benderang dari 'Aalim al-'Allamah Syaikh Ibnu Daqiiq al-'Iid rahimahullah:

أَمَّا مَنْ قَالَ: إنَّ دَلِيلَ الإِجْمَاعِ ظَنِّيٌّ، فَلا سَبِيلَ إلَى تَكْفِيرِ مُخَالِفِهِ كَسَائِرِ الظَّنِّيَّاتِ ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ: إنَّ دَلِيلَهُ قَطْعِيٌّ، فَالْحُكْمُ الْمُخَالِفُ فِيهِ إمَّا أَنْ يَكُونَ طَرِيقُ إثْبَاتِهِ قَطْعِيًّا أَوْ ظَنِّيًّا. فَإِنْ كَانَ ظَنِّيًّا، فَلا سَبِيلَ إلَى التَّكْفِيرِ، وَإِنْ كَانَ قَطْعِيًّا، فَقَدْ اخْتَلَفُوا فِيهِ وَلا يُتَوَجَّهُ الْخِلافُ فِيمَا تَوَاتَرَ مِنْ ذَلِكَ عَنْ صَاحِبِ الشَّرْعِ بِالنَّقْلِ، فَإِنَّهُ يَكُونُ تَكْذِيبًا مُوجِبًا لِلْكُفْرِ بِالضَّرُورَةِ، وَإِنَّمَا يُتَوَجَّهُ الْخِلافُ فِيمَا حَصَلَ فِيهِ الإِجْمَاعُ بِطَرِيقٍ قَطْعِيٍّ، أَعْنِي أَنَّهُ ثَبَتَ وُجُودُ الإِجْمَاعِ بِهِ إذَا لَمْ يَنْقُلْ أَهْلُ الإِجْمَاعِ الْحُكْمَ بِالتَّوَاتُرِ عَنْ صَاحِبِ الشَّرْعِ، فَتَلَخَّصَ أَنَّ الإِجْمَاعَ تَارَةً يَصْحَبُهُ التَّوَاتُرُ بِالنَّقْلِ عَنْ صَاحِبِ الشَّرْعِ وَتَارَةً لا. فَالأَوَّلُ لا يُخْتَلَفُ فِي تَكْفِيرِهِ، وَالثَّانِي قَدْ يُخْتَلَفُ فِيهِ. فَلا يُشْتَرَطُ فِي النَّقْلِ عَنْ صَاحِبِ الشَّرْعِ لَفْظٌ مُعَيَّنٌ، بَلْ قَدْ يَكُونُ ذَلِكَ مَعْلُومًا بِالْقَطْعِ بِأُمُورٍ خَارِجَةٍ عَنْ الْحَصْرِ، كَوُجُوبِ الأَرْكَانِ الْخَمْسَةِ.


"Adapun orang yang berpendapat bahwa dalil ijmaa' itu adalah dzanniy, maka, tidak ada jalan untuk mengkafirkan orang yang menyelisihi ijmaa', sebagaimana halnya orang yang menyelisihi semua dalil-dalil dzanniy.  Adapun orang yang berpendapat bahwa, dalil ijmaa' itu adalah qath'iy, maka hukum bagi orang yang menyelisihinya, bisa saja jalan penetapannya qath'iy atau bisa juga dzanniy.  Jika jalan penetapannya dzanniy, maka tidak ada jalan untuk mengkafirkan. Jika jalan penetapannya qath'iy, maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Tidak ada perbedaan pendapat dalam perkara-perkara mutawatir yang dinukilkan dari Shahib al-Syar'i; sehingga orang [yang menolak riwayat-riwayat mutawatir] telah membuat kedustaan dan wajib dihukumi kafir.  Perbedaan pendapat hanya terjadi pada perkara-perkara yang di dalamnya terjadi ijmaa', melalui jalan qath'iy (bi thariiq qath'iy). Maksud saya, (jika) keberadaan ijma' yang ditetapkan dengan jalan qath'iy tersebut tidak dinukilkan oleh ahli ijma' dari Shaahib al-Syar'iy secara mutawatir.  Ringkasnya, ijma' itu kadang-kadang dinukilkan dari Shaahib al-Syar'i secara mutawatir, kadang-kadang tidak.  Adapun yang pertama (yakni ijma' yang dinukilkan secara mutawatir dari Shaahib al-Syar'iy) tidak ada perbedaan pendapat mengenai pengkafirannya (orang yang menyelisihi ijmaa' yang dinukilkan secara mutawatir).  Adapun yang kedua, ada perbedaan pendapat di dalamnya.  Penukilan dari Shaahib al-Syar'iy tidak disyaratkan adanya lafadz tertentu, akan tetapi ijma' seperti itu sudah diketahui secara qath'iy dengan adanya pembatasan perkara-perkara eksternal, seperti wajibnya rukun lima".[Bahr al-Muhiith, juz 6/176]

SIKAP YANG LURUS DAN BENAR TERHADAP SIKSA KUBUR
          Di dalam kitab-kitab mutabannat, Hizbut Tahrir secara khusus tidak pernah membahas secara mendalam dan detail persoalan ahkaam al-akhirah (ketetapan—ketetapan akherat, semacam siksa kubur.  Hizbut Tahrir hanya meletakkan kerangka ushuliy dalam melakukan itsbat 'aqidah, termasuk di dalamnya kedudukan hadits ahad dalam itsbat 'aqidah.
        Namun, kami akan memaparkan kepada para pembaca budiman, pandangan para ulama mu'tabar mengenai siksa kubur.  Setidaknya ada dua pendapat mu'tabar di kalangan ulama ahlus sunnah wal jamaa'ah terhadap siksa kubur:
  1. Pendapat pertama menyatakan, bahwa hadits-hadits tentang siksa kubur mencapai derajat mutawatir bil makna. Sebab, jalur periwayatannya sangatlah banyak dan perawi-perawinya telah mencapai derajat pasti dikarenakan para perawinya tidak mungkin sepakat untuk dusta. Kelompok pertama ini juga berpendapat bahwa hadits mutawatir bil makna menghasilkan ilmu.  Mereka juga tidak membedakan antara ilmu dlaruriy, ilmu tuma'ninah  atau ilmu nadzariy.  Bagi mereka khabar-khabar yang menghasilkan ilmu –sama saja apakah ilmu dlaruriy, ilmu tuma'ninah, atau ilmu nadzariy, absah dijadikan dalil untuk mengitsbat perkara-perkara 'aqidah. Dengan demikian, kelompok ulama yang berpendapat seperti ini menjadikan siksa kubur bagian dari 'aqidah Islaamiyyah.  Seorang Muslim yang mengikuti pandangan ini, wajib menetapkan siksa kubur sebagai bagian dari 'aqidah Islaamiyyah.  Pendapat seperti ini dipegang mayoritas ulama dari kalangan ahli hadits dan ushul. 
  2. Pendapat kedua menyatakan bahwa hadits-hadits yang bertutur tentang ketetapan-ketetapan akherat, semacam siksa kubur, ru'yatullah, dan lain-lain, tidak menghasilkan ilmu dlaruriy, tetapi, hanya menghasilkan ilmu tuma'ninah.   Menurut Imam Sarakhsiy, hadits-hadits yang berbicara tentang ketetapan akherat sebagian ada yang masyhur dan sebagian ada yang hadits ahad, tidak mencapai derajat mutawatir.. Masih menurut beliau, hadits-hadits masyhur yang berbicara tentang siksa kubur, rukyatullah, al-haudl, dan lain sebagainya hanya menghasilkan ilmu tuma'ninah, tidak ilmu dlaruriy. Sedangkan dalil-dalil yang menghasilkan ilmu tuma'ninah tidak absah digunakan untuk mengitsbat (menetapkan) persoalan 'aqidah.   Pendapat ini dipegang oleh Imam al-Jalil As Sarakhsiy rahimahullah, dan ulama yang sejalan dengan beliau rahimahullah.  Perhatikan perkataan sharih Imam al-Jalil As Sarakhsiy:

فأما الآثار المروية في عذاب القبر ونحوها فبعضها مشهورة وبعضها آحاد وهي توجب عقد القلب عليه، والابتلاء بعقد القلب على الشئ بمنزلة الابتلاء بالعمل به أو أهم، فإن ذلك ليس من ضرورات العلم، قال تعالى: * (وجحدوا بها واستيقنتها أنفسهم) * وقال تعالى: * (يعرفونه كما يعرفون أبناءهم) * فتبين أنهم تركوا عقد القلب على ثبوته بعد العلم به، وفي هذا بيان أن هذه الآثار لا تنفك عن معنى وجوب العمل بها.
"Adapun riwayat-riwayat (atsar) yang menuturkan tentang siksa kubur dan lain sebagainya; sesungguhnya sebagian riwayat itu ada yang masyhur dan sebagian lagi riwayat ahad. Dan sesungguhnya, riwayat-riwayat ini telah mengharuskan hati untuk mengikatkan dirinya pada perkara-perkara tersebut.  Sedangkan pengetahuan mengenai wajibnya hati mengikatkan diri kepada suatu perkara, kedudukannya sama dengan pengetahuan terhadap suatu amal atau sesuatu yang lebih penting.  Hanya saja, semua ini tidak muncul dari ilmu dlaruriy (ilmu kepastian).  Pasalnya, Allah swt berfirman, "Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan".[TQS An Naml (27):14].  Allah swt juga berfirman, "Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui".[TQS Al Baqarah (2):146].  Ayat di atas menjelaskan bahwa, mereka (orang-orang kafir) meninggalkan keyakinan hati yang telah terbukti kebenarannya, sesudah ada pengetahuan terhadapnya.   Semua ini menunjukkan bahwa, atsar-atsar (riwayat-riwayat) tersebut tidak terlepas dari makna "wajibnya mengamalkan hadits-hadits tersebut".[2]
Sikap Imam Sarakhsiy terhadap hadits-hadits ahad dan masyhur yang berbicara tentang akherat, semacam siksa kubur, rukyatullah, dan lain sebagainya tergambar dalam perkataan beliau:

هذا القائل كأنه خفي عليه الفرق بين سكون النفس وطمأنينة القلب وبين علم اليقين، فإن بقاء احتمال الكذب في خبر غير المعصوم معاين لا يمكن إنكاره ومع الشبهة والاحتمال لا يثبت اليقين وإنما يثبت سكون النفس وطمأنينة القلب بترجح جانب الصدق ببعض الاسباب، وقد بينا فيما سبق أن علم اليقين لا يثبت بالمشهور من الاخبار بهذا المعنى فكيف يثبت بخبر الواحد وطمأنينة القلب نوع علم من حيث الظاهر فهو المراد بقوله: (ثم أعلمهم) ويجوز العمل باعتباره كما يجوز العمل بمثله في باب القبلة عند الاشتباه، وينتفي باعتبار مطلق الجهالة لانه يترجح جانب الصدق بظهور العدالة، بخلاف خبر الفاسق فإنه يتحقق فيه المعارضة من غير أن يترجح أحد الجانبين.."
 "Orang yang menyatakan pendapat seperti itu, tidak bisa membedakan antara ketenangan jiwa dan ketentraman hati dengan ilmu yakin (keyakinan pasti).  Sesungguhnya, selama masih ada kemungkinan dusta pada sebuah berita yang tidak terjaga, maka berita itu (berita orang yang adil) tidak mungkin diingkari, meskipun di dalamnya ada keraguan (syubhat). Sedangkan ihtimal (kemungkinan) tidak bisa menetapkan keyakinan.  Ihtimaal hanya bisa menetapkan ketentraman dan ketenangan hati karena adanya sisi kebenaran yang lebih menonjol.  Pada penjelasan sebelumnya kami telah menjelaskan bahwa hadits masyhur tidak bisa menetapkan keyakinan pasti (ilmu yaqiin), apa lagi khabar ahad.  Ketenangan dan ketentraman hati termasuk jenis keyakinan jika ditinjau dari sisi dzahirnya, dan inilah maksud sabda Nabi saw, "Lalu, beritahulah mereka".  Atas dasar itu, seseorang boleh beramal dengan anggapannya, sebagaimana bolehnya beramal pada kasus menghadap kiblat di saat ada keraguan[3]. Sedangkan ketidaktahuannya telah dieleminasi karena sisi kebenaran berita itu lebih kuat, disebabkan karena hadirnya keadilan perawi. Ini berbeda dengan beritanya orang fasik.  Berita orang fasik masih mengandung kontradiksi yang salah satu sisinya tidak bisa dikuatkan[4]". [Imam Al-Sarakhsiy, Ushuul al-Sarakhsiy, juz 1/329]
Seorang ulama besar dari madzhab Syafi'iy, Imam Sa'aduddin Mas'ud bin 'Umar al-Taftaazaaniy Asy Syaafi'iy rahimahullah di dalam Kitab Syarh al-Talwiih 'ala at-Taudliih li Matn Kitaab al-Tanqiih fi Ushuul al-Fiqh, membantah pendapat yang menyatakan bahwa hadits-hadits yang berbicara tentang ketetapan akherat, semacam siksa kubur, perincian tentang Mahsyar, dan lain sebagainya, menghasilkan ilmu yaqin. Perhatikan pernyataan Imam al-Jalim Al-Taftaazaniy rahimahullah:

والأخبار في أحكام الآخرة مثل عذاب القبر وتفاصيل الحشر والصراط والحساب والعقاب إلى غير ذلك والتي لا توجب إلا الاعتقاد ـ أي التي لا تتطلب منا إلا التصديق الجازم ـ قد يقول قائل فيها ـ أي في هذه الأخبار ـ أن خبر الواحد يحتمل الصدق والكذب، وبالعدالة ـ أي عدالة الراوي ـ يترجح الصدق بحيث لا يبقى احتمال الكذب وهو معنى العلم. وجوابه أنا لا نسلم ترجح جانب الصدق إلى حيث لا يحتمل الكذب أصلا بل العقل شاهد بان خبر الواحد العدل لا يوجب علم اليقين وان احتمال الكذب قائم وان كان مرجوحا، والا لزم القطع بالنقيضين عند أخبار العدلين بهما، وجواب الأول وجهان : احدها أن الأحاديث في باب الآخرة فيها ما اشتهر فيوجب علم الطمأنينة وفيها ما هو خبر الواحد فيفيد الظن وذلك في التفاصيل والفروع ومنها ما تواتر فيفيد القطع واليقين ]
"Khabar-khabar yang menjelaskan perkara-perkara akherat, semacam siksa kubur, perincian-perincian mengenai Mahsyar, sirath, hisab, siksa, dan sebagainya, tidaklah wajib kecuali untuk diyakini (al-i'tiqaad) –yakni menuntut kita untuk membenarkannya secara pasti (tashdiiq al-jaazim)--.  Dalam masalah ini, kadang-kadang ada orang berpendapat –yakni dalam khabar-khabar seperti ini--, bahwa khabar ahad mengandung unsur kebenaran dan kedustaan, dan dengan adanya keadilan –keadilan perawi—maka sisi kebenarannya lebih kuat, sehingga tidak ada lagi sisi kedustaannya.  Inilah makna dari ilmu.  Jawabnya, "Kami tidak sependapat bahwa kuatnya sisi kebenaran bisa mengeliminir seluruh kedustaan, pada konteks asalnya.  Bahkan akal membuktikan bahwa khabar ahad yang adil tidak menghasilkan ilmu yaqin, dan kemungkinkan dustanya masih tetap ada, walaupun lemah.  Jika tidak seperti ini, maka kepastian harus dilekatkat kepada dua khabar bertentangan yang diriwayatkan oleh dua perawi adil. Jawab pertama, "Hadits-hadits yang berbicara tentang ketetapan-ketetapan akherat, sebagian ada yang masyhur, sehingga menghasilkan ilmu tuma'ninah, dan sebagiannya adalah khabar ahad yang menghasilkan dzann.  Demikian juga dalam perkara-perkara tafaashiil (perincian-perincian) dan al-furuu' (cabang-cabang), sebagian khabar-khabarnya mutawatir, sehingga menghasilkan kepastian dan yaqiin". [Imam Sa'aduddin Mas'ud bin 'Umar al-Taftaazaaniy Asy Syaafi'iy, Kitab Syarh al-Talwiih 'ala at-Taudliih li Matn Kitaab al-Tanqiih fi Ushuul al-Fiqh, juz 2/347, dan 354]
Imam Az Zarkasiy dalam Kitab Bahr al-Muhiith menyatakan:

مَسْأَلَةٌ [إفَادَةُ الْمُسْتَفِيضِ الْعِلْمَ] وَالْمُسْتَفِيضُ عَلَى الْقَوْلِ بِالْوَاسِطَةِ يُفِيدُ الْعِلْمَ فِي قَوْلِ الأُسْتَاذَيْنِ أَبِي إِسْحَاقَ الإسْفَرايِينِيّ, وَأَبِي مَنْصُورٍ التَّمِيمِيِّ, وَابْنُ فُورَكٍ, وَمَثَّلَهُ أَبُو مَنْصُورٍ فِي كِتَابِهِ الْمَعْرُوفِ بِالأُصُولِ الْخَمْسَةَ عَشَرَ ": بِالأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِي الْمَسْحِ عَلَى الْخُفِّ, وَأَخْبَارِ الرُّؤْيَةِ وَالْحَوْضِ, وَالشَّفَاعَةِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ, وَمَثَّلَهُ ابْنُ بَرْهَانٍ بِحَدِيثِ: [إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ] , وَحَدِيثِ: [لا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا] , وَقَالَ: الصَّحِيحُ أَنَّهُ يُفِيدُ ظَنًّا قَوِيًّا مُتَأَخِّرًا عَنْ الْعَمَلِ, مُقَارِبًا لِلْيَقِينِ. وَسَبَقَهُ إلَيْهِ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ, وَضَعَّفَ مَقَالَةَ الأُسْتَاذِ بِأَنَّ الْعُرْفَ وَإِطْرَادَ الاعْتِبَارِ لا يَقْتَضِي الصِّدْقَ قَطْعًا, بَلْ قُصَارَاهُ غَلَبَةُ الظَّنِّ, وَقَالَ الإِبْيَارِيُّ: كَأَنَّ الأُسْتَاذَ أَرَادَ أَنَّ النَّظَرَ فِي أَحْوَالِ الْمُخْبِرِينَ مِنْ أَهْلِ الثِّقَةِ وَالتَّجْرِبَةِ يَحْصُلُ ذَلِكَ, وَقَدْ مَالَ إلَيْهِ الْغَزَالِيُّ, وَلا وَجْهَ لَهُ. نَعَمْ, هُوَ بِغَلَبَةِ الظَّنِّ لا الْعِلْمِ. وَإِذَا قُلْنَا: إنَّهُ يُفِيدُ الْعِلْمَ فَهُوَ نَظَرِيٌّ لا ضَرُورِيٌّ فِي قَوْلِ الأُسْتَاذَيْنِ.
"Masalah hadits al-mustafadl menghasilkan ilmu". Hadits-hadits mustafadl dengan adanya wasithah berfaedah kepada ilmu, berdasarkan pendapat dua ulama, yakni Abu Ishaq al-Asfaarayiiniy dan Abu Manshur at-Tamimiy.  Dan Ibnu Furaak. Abu Manshur memisalkannya di dalam sebuah kitab yang terkenal dengan judul Ushul al-Khamsah 'Asyar,"Pada khabar-khabar yang bertutur tentang menyapu kedua sepatu, melihat Allah (ar-ru'yah) dan telaga (al-haudl), syafa'at, dan adzab kubur", Ibnu Burhan memisalkannya dengan hadits: [Innamaa al-a'maal bi al-niyaat] dan hadits :[laa tunkihu al-mar`ata 'ala 'ammatihaa], beliau berkata, "Benar, hadits ini menghasilkan dzann yang kuat, lebih dulu daripada amal, dekat kepada keyakinan.  Imam al-Haramain menentang pendapatnya dan melemahkan pendapat al-Ustadz, dikarenakan 'urf dan ithraad al-i'tibaar (kebiasaan dan berturut-turutnya sebuah I'tibar) tidaklah berkonsekuensi kepada pembenaran yang bersifat pasti. Akan tetapi, khabar tersebut tetaplah menghasilkan ghalabat al-dzann (sangkaan yang kuat).   Al-Anbariy berkata, " Barangkali al-Ustadz bermaksud bahwa al-nadzar (penelitian) terhadap keadaan perawi yang termasuk orang-orang yang terpercaya dan ahli, sehingga berita mereka menghasilkan ilmu.  Imam Ghazaliy cenderung kepada pendapat beliau.  Sesungguhnya, pendapat beliau sama sekali tidak beralasan sama sekali. Benar, bahwa hadits-hadits mustafadl hanya menghasilkan ghalabat al-dzann, tidak menghasilkan ilmu.  Jika kita nyatakan bahwa hadits tersebut menghasilkan ilmu, maka maksudnya adalah menghasilkan ilmu nadzariy, bukan ilmu dlaruriy, pada pendapat dua Ustadz".[Bahr al-Muhiith, juz 5/ 268]
Al-'Aalim al-'Allamah 'Abdul 'Aziz al-Bukhari dalam Kitab Kasyfu al-Asraar, menyatakan:

وقال عبد العزيز البخاري في كشف الأسرار: (بَابُ خَبَرِ الْوَاحِدِ): وَهُوَ الْفَصْلُ الثَّالِثُ مِنْ الْقِسْمِ الأَوَّلِ، وَهُوَ كُلُّ خَبَرٍ يَرْوِيهِ الْوَاحِدُ أَوْ الاثْنَانِ فَصَاعِدًا لا عِبْرَةَ لِلْعَدَدِ فِيهِ بَعْدَ أَنْ يَكُونَ دُونَ الْمَشْهُورِ وَالْمُتَوَاتِرِ، وَهَذَا يُوجِبُ الْعَمَلَ وَلا يُوجِبُ الْعِلْمَ يَقِينًا عِنْدَنَا، وَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ لا يُوجِبُ الْعَمَلَ؛ لأَنَّهُ لا يُوجِبُ الْعِلْمَ، وَلا عَمَلَ إلا عَنْ عِلْمٍ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى { وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَك بِهِ عِلْمٌ }، وَهَذَا؛ لأَنَّ صَاحِبَ الشَّرْعِ مَوْصُوفٌ بِكَمَالِ الْقُدْرَةِ فَلا ضَرُورَةَ لَهُ فِي التَّجَاوُزِ عَنْ دَلِيلٍ يُوجِبُ عِلْمَ الْيَقِينِ بِخِلافِ الْمُعَامَلاتِ؛ لأَنَّهَا مِنْ ضَرُورَاتِنَا وَكَذَلِكَ الرَّأْيُ مِنْ ضَرُورَاتِهَا فَاسْتَقَامَ أَنْ يَثْبُتَ غَيْرُ مُوجِبِ عِلْمِ الْيَقِينِ وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْحَدِيثِ يُوجِبُ عِلْمَ الْيَقِينِ لِمَا ذَكَرْنَا أَنَّهُ أَوْجَبَ الْعَمَلَ، وَلا عَمَلَ مِنْ غَيْرِ عِلْمٍ، وَقَدْ وَرَدَ الآحَادُ فِي أَحْكَامِ الآخِرَةِ مِثْلُ عَذَابِ الْقَبْرِ وَرُؤْيَةِ اللَّهِ تَعَالَى بِالأَبْصَارِ وَلا حَظَّ لِذَلِكَ إلا الْعِلْمُ (1) قَالُوا: وَهَذَا الْعِلْمُ يَحْصُلُ كَرَامَةً مِنْ اللَّهِ تَعَالَى فَثَبَتَ عَلَى الْخُصُوصِ لِلْبَعْضِ دُونَ الْبَعْضِ كَالْوَطْءِ تَعَلَّقَ مِنْ بَعْضٍ دُونَ بَعْضٍ وَدَلِيلُنَا فِي أَنَّ خَبَرَ الْوَاحِدِ يُوجِبُ الْعَمَلَ وَاضِحٌ مِنْ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالإِجْمَاعِ وَالدَّلِيلِ الْمَعْقُولِ ..... وَأَمَّا دَعْوَى عِلْمِ الْيَقِينِ بِهِ فَبَاطِلٌ بِلا شُبْهَةٍ لأَنَّ الْعِيَانَ يَرُدُّهُ مِنْ قِبَلِ أَنَّا قَدْ بَيَّنَّا أَنَّ الْمَشْهُورَ لا يُوجِبُ عِلْمَ الْيَقِينِ فَهَذَا أَوْلَى؛ وَهَذَا لأَنَّ خَبَرَ الْوَاحِدِ مُحْتَمَلٌ لا مَحَالَةَ، وَلا يَقِينَ مَعَ الاحْتِمَالِ، وَمَنْ أَنْكَرَ هَذَا فَقَدْ سَفَّهُ نَفْسَهُ، وَأَضَلَّ عَقْلَهُ.  وَإِذَا اجْتَمَعَ الآحَادُ حَتَّى تَوَاتَرَتْ حَدَثَ حَقِّيَّةَ الْخَبَرِ وَلُزُومُ الصِّدْقِ بِاجْتِمَاعِهِمْ، وَذَلِكَ وَصْفٌ حَادِثٌ مِثْلُ إجْمَاعِ الأُمَّةِ إذَا ازْدَحَمَتْ الآرَاءُ سَقَطَتْ الشُّبْهَةُ فَأَمَّا الآحَادُ فِي أَحْكَامِ الآخِرَةِ فَمِنْ ذَلِكَ مَا هُوَ مَشْهُورٌ، وَمِنْ ذَلِكَ مَا هُوَ دُونَهُ لَكِنَّهُ يُوجِبُ ضَرْبًا مِنْ الْعِلْمِ عَلَى مَا قُلْنَا، وَفِيهِ ضَرْبٌ مِنْ الْعَمَلِ أَيْضًا، وَهُوَ عَقْدُ الْقَلْبِ عَلَيْهِ إذْ الْعَقْدُ فَضْلٌ عَلَى الْعِلْمِ وَالْمَعْرِفَةِ، وَلَيْسَ مِنْ ضَرُورَاتِهِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: { وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا }، وَقَالَ تَعَالَى { يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ } فَصَحَّ الابْتِلاءُ بِالْعَقْدِ كَمَا صَحَّ بِالْعَمَلِ بِالْبَدَنِ وَلِهَذَا جَوَّزْنَا الْقَوْلَ بِالنَّسْخِ قَبْلَ الْعَمَلِ، وَقَبْلَ التَّمَكُّنِ مِنْ الْعَمَلِ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.
"(Bab Khabar Ahad):  Ini adalah pasal ketiga dari bagian pertama; yakni setiap khabar yang diriwayatkan oleh seorang, dua orang, atau lebih, dan banyaknya jumlah tidak lagi penting asalkan tidak mencapai derajat masyhur dan mutawatir.  Khabar seperti ini wajib diamalkan, namun tidak menghasilkan ilmu yaqiin, menurut pandangan kami.   Sebagian orang berpendapat bahwa hadits ahad tidak wajib diamalkan karena tidak menghasilkan keyakinan; dan tidak ada amal kecuali berdasarkan keyakinan.  Allah swt berfirman, "Wa laa taqfu maa laisa laka bihi 'ilm". Ini dikarenakan Pembuat Syariat telah disifati dengan Kesempurnaan Qudrah, sehingga tidak ada kepentingan bagiNya kelewat batas menetapkan dalil yang menghasilkan keyakinan, berbeda dengan masalah mu'amalah.  Sebab, mu'amalah termasuk kepentingan kita.  Demikian pula bahwa pendapat tentang kepentingan (harus adanya)  dalil (qiyas), telah tegak bukti bahwa ia tidak menghasilkan ilmu yaqin. Sebagian ahli hadits menyatakan bahwa hadits ahad menghasilkan ilmu yaqin –sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya mereka telah mewajibkan amal harus berdasarkan bukti yang menyakinkan--, dan tidak ada amal tanpa ditunjang oleh ilmu (kepastian).  Telah disebutkan dalam riwayat-riwayat ahad, ketetapan-ketetapan akherat, seperti siksa kubur, melihat Allah dengan mata di akherat, yang hal ini tidak boleh ditetapkan kecuali berdasarkan kepastian (ilmu).  Mereka berkata,"Ilmu (kepastian) ini merupakan karamah dari Allah swt, sehingga mengitsbat secara khusus untuk sebagian perkara, tapi tidak untuk perkara yang lain; seperti kesepakatan yang mengikat sebagian, namun tidak untuk sebagian yang lain.   Dalil kami bahwa hadits ahad wajib diamalkan, amat jelas tertera dalam Al-Quran, Sunnah, Ijma', dan dalil-dalil ma'quul...Adapun dakwaan bahwa (khabar ahad) menghasilkan keyakinan adalah bathil tanpa ada keraguan sedikitpun.  Sebab, orang menolak pendapat ini.  Kami telah menjelaskan bahwa hadits masyhur tidak menghasilkan ilmu yaqin, lebih-lebih lagi hadits ahad. Sebab, hadits ahad masih mengandung kemungkinan.  Dan tidak ada keyakinan jika masih mengandung kemungkinan.  Siapa saja yang menolak pendapat ini, maka ia telah merendahkan dirinya sendiri dan sesat akalnya.  Jika hadits-hadits ahad berkumpul hingga muwatir maka menciptakan kebenaran khabar dan wajibnya dibenarkan berdasarkan kesepakatan ini.  Ada pula sifat baru, semacam ijma' ummah (kesepakatan umat) jika pendapat-pendapat telah berkumpul (sepakat),  maka lenyaplah syubhat.  Adapun hadits-hadits ahad yang berbicara tentang ketetapan-ketetapan akherat, maka, dari hadits-hadits tersebut ada yang masyhur, dan ada pula yang tidak masyhur,  Tetapi hadits-hadits tersebut menghasilkan jenis ilmu  sebagaimana yang kami nyatakan (maksudnya adalah ilmu tuma'mimah, bukan ilmu dlaruriy), dan juga menghasilkan jenis amal; yaitu, keyakinan hati terhadap hadits-hadits tersebut, disebabkan keyakinan tersebut muncul dari ilmu dan makrifat, bukan dari ilmu dlarurinya. .  di dalam hadits-hadits itu ada pula bagian  sama saja apakah yang masyhur, atau tidak masyhur, akan tetapi hadits-hadits ini mewajibkan.  Allah swt berfirman {wa jahaduu bihaa wastaiqanathaa anfusuhum dzulman wa 'uluwwan}, dan Allah swt berfirman:{ ya'rifuunahu kamaa ya'rifuuna abnaa`ahum}.  Sesungguhnya, adanya ujian (ibtilaa') akan mengantarkan keyakinan, sebagaimana ibtilaa'  juga akan mengantarkan amal pada badan.   Oleh karena itu, kami membenarkan pendapat yang menyatakan kebolehan nasakh sebelum amal (perbuatan), atau sebelum dilaksanakannya sebuah amal (perbuatan).  Wallahu a'lam."['Aalim al-'Allamah 'Abdul 'Aziz al-Bukhariy, Kasyf al-Asraar, juz 4/393-394]
          Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut;
  1. Imam Sarakhsiy, Imam Bazdawiy, Imam Taftaazaniy, dan Imam 'Abdul 'Aziz al-Bukhari berpendapat bahwa hadits-hadits yang berbicara tentang ketetapan-ketetapan akherat, semacam siksa kubur, melihat Allah dengan mata di akherat, telaga, dan lain sebagainya, sebagian ada yang masyhur dan sebagian lagi ahad.  Mereka juga berpendapat bahwa hadits masyhur tidak menghasilkan ilmu dlaruriy, akan tetapi menghasilkan ilmu tuma'ninah.   Dengan demikian, mereka berpandangan bahwa hadits-hadits tentang ketetapan akherat tidak bisa mengitsbat perkara-perkara 'aqidah.
  2. Hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur hanya menghasilkan ilmu tuma'ninah, dan tidak menghasilkan ilmu dlaruriy yang menjadi syarat itsbat 'aqidah.   Kaum Mukmin yang mengikuti pandangan imam-imam di atas, tidak diperkenankan menjadikan hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur, al-haudl, dan lain sebagainya sebagai bagian dari 'aqidah Islam.  Hanya saja, hadits-hadits seperti ini wajib dijadikan sebagai ketetapan hati (ilmu tuma'ninah), dan seseorang tidak diperkenankan mengingkarinya.  Pasalnya, hadits-hadits yang berbicara tentang ketetapan-ketetapan akherat diriwayatkan oleh perawi-perawi yang adil, sehingga menghasilkan ketenangan jiwa dan ketentraman hati. Wallahu a'lam bish shawab.
  3. Berdasarkan penjelasan ini dapat disimpulkan bahwasanya masalah-masalah yang masih menjadi bahan perdebatan di kalangan ulama-ulama mu'tabar tidak boleh dijadikan alat untuk memfitnah, lebih-lebih lagi menyematkan predikat kafir atau fasik kepada saudara-saudaranya.   Perbedaan pendapat mengenai penetapan siksa kubur sebagai bagian 'aqidah islamiyyah, sama persis dengan perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai penetapan tasmiyyah, apakah termasuk bagian al-Quran atau tidak, dan perkara-perkara lain yang masih menjadi perdebatan dan diskusi di kalangan ulama mu'tabar.  

KHATIMAH
Demikianlah, anda telah kami jelaskan cukup panjang lebar, seputar masalah itsbat 'aqidah, dan sikap yang benar terhadap hadits-hadits yang berbicara tentang ketetapan akherat, semacam siksa kubur. 
Pada dasarnya, penetapan suatu perkara termasuk bagian dari 'aqidah Islamiyyah atau tidak membutuhkan kajian yang jernih dan mendalam.  Tidak hanya itu saja, persoalan ini juga harus dikaji secara hati-hati, agar 'aqidah Islamiyyah terbebas dari semua bentuk keraguan, syubhat, maupun prasangka.  Jika suatu perkara keyakinan telah ditetapkan oleh dalil-dalil qath'iy, maka perkara tersebut tidak boleh diingkari atau diragukan sebagai bagian dari 'aqidah Islamiyyah.  Seorang Mukmin wajib menyakini perkara tersebut dengan keyakinan pasti yang tidak disusupi oleh keraguan.  Siapa saja yang mengingkari perkara seperti ini, tidak diragukan lagi ia telah keluar dari dienul Islam yang lurus.
Sebaliknya, suatu perkara keyakinan yang ditetapkan oleh dalil-dalil dzanniy, maka ia tidak boleh dijadikan sebagai bagian dari 'aqidah Islamiyyah yang menuntut adanya ilmu yaqin (kepastian).  Menetapkan perkara-perkara keyakinan yang ditunjukkan oleh dalil-dalil dzanniy sebagai bagian dari 'aqidah Islamiyyah termasuk perbuatan haram, meskipun tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam.
Terakhir, perbedaan pendapat di kalangan kaum Muslim mengenai hadits-hadits yang berbicara tentang ketetapan akherat, tidak boleh dijadikan jalan untuk memecah belah persatuan kaum Muslim, lebih-lebih lagi untuk menikam saudara-saudara Muslim yang berbeda pandangan dan pendirian. Sikap inilah yang harus ditumbuhkan di tengah-tengah kaum Muslim, bukan sikap keliru dan gegabah yang justru mengobarkan perpecahan dan pertikaian di kalangan kaum Muslim. Wallahu al-musta'an wa huwa waliyu at-taufiiq.


Selesai dengan pertolongan Allah
Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy
(Abu Mohammad Asad Zain As Sakhawiy)









[1]    Dr. Husain 'Abdullah di dalam kitab Diraasaat fi al-Fikr al-Islaamiy menyatakan, "Yufiid al-khabar al-aahad al-hukm al-nadhriy, aiy al-'ilm al-mutawaqqaf  'ala al-nadhr wa al-istidlaal, wa huwa yufiid al-dhannn, wa laa yakfur jaahiduhu" (hadits ahad berfaedah pada al-hukm al-nadhr, yakni ilmu (keyakinan) yang disandarkan atas pengamatan dan pengkajian; dan hadits ahad hanya menghasilkan dhann belaka.  Oleh karena itu, orang yang menolaknya tidak boleh dianggap kafir".(Dr. Mohammad Husain 'Abdullah, Diraasaat fi al-Fikr al-Islaamiy, hal. 118)

[2]    Imam Sarakhsiy, Ushuul al-Sarakhsiy, juz 1, hal. 329-330.  Dari keterangan beliau ini dapat disimpulkan bahwa riwayat-riwayat yang bertutur tentang ketetapan akherat, seperti siksa kubur, melihat Allah, dan lain sebagainya adalah hadits ahad, dan tidak menghasilkan ilmu dlaruriy.  Apabila selama ini umat menyakini dan qana'ah dengan riwayat-riwayat itu, sesungguhnya semua ini tidak muncul dari ilmu dlaruriy, akan tetapi muncul dari ketenangan dan ketentraman hati karena riwayat-riwayat itu dituturkan oleh perawi adil.   Hanya saja, menurut Imam Sarakhsiy, aqidah harus disangga oleh dalil-dalil yang menghasilkan ilmu dlaruriy, tidak cukup dengan dalil-dalil masyhur yang hanya menghasilkan ketentraman hati..

[3]    Yg dimaksud dengan ketenangan dan ketentraman hati adalah prasangka kuat yang bisa menumbuhkan perasaan tenang dan tentram di dalam hati, karena sisi kebenaran yang dikandung oleh suatu berita lebih kuat dibandingkan kedustaannya.   Prasangka kuat ini muncul karena hadirnya keadilan orang yang membawa berita tersebut.   Keadaan ini sama persis dengan kasus menghadap kiblat ketika seorang musholliy ragu-ragu tentang arah kiblat.  Ia boleh menghadap ke arah yang dianggapnya lebih benar, dan menentramkan hatinya; walaupun ia sendiri tidak bisa memastikan kebenaran arah kiblat yang dipilihnya.     Sesungguhnya, khabar ahad jika telanjur diyakini, sesungguhnya keyakinan ini muncul dari ketenangan dan ketentraman hati, bukan muncul dari ilmu yakin (keyakinan yang pasti).  Atas dasar itu, khabar ahad tidak bisa menghasilkan ilmu yakin (keyakinan hati).  Akan tetapi, ia bisa menetapkan dan menghasilkan ketenangan dan ketentraman hati.

[4]    Berita yang disampaikan oleh orang fasik mengandung dua sisi yang saling kontradiksi, benar atau dusta.  Hanya saja, salah satu sisi itu tidak bisa dikuatkan salah satunya, apakah sisi dustanya ataukah sisi benarnya yang lebih kuat.    Akibatnya, seseorang tidak bisa memilih mana yang lebih kuat, dustanya atau kebenarannya.  Atas dasar itu, berita orang fasik tidak bisa menghadirkan ketenangan dan ketentraman hati karena kefasikan orang yang membawa berita itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar