Kamis, 22 Desember 2011

Berbakti kepada Orang Tua (Tafsir QS al-Isra’ [17]: 23)

Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “uff” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (TQS al-Isra’ [17]: 23).
 Tidak ada anak tanpa orang tua. Dari orang tuanyalah, seorang anak bisa lahir. Atas asuhan dan didikan orang tuanya pula, seorang anak bisa tumbuh dan berkembang, baik dari segi fisik maupun kepribadiannya. Wajarlah jika anak diwajibkan berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ayat di atas adalah di antara ayat yang memerintahkan kaum Muslim memiliki sikap tersebut.
Berbuat Ihsan
Allah SWT berfirman: Wa qadhâ Rabbuka (dan Tuhanmu telah memerintahkan). Menurut Ibnu ‘Abbas, al-Hasan, dan Qatadah –sebagaimana dikutip Abu Hayyan al-Andalusi dalam Tafsîr al-Bahr al-Muhîth–, kata qadhâ berarti amara (memerintahkan). Imam al-Qurthubi juga memaknainya dengan amara wa alzama wa awjaba (memerintahkan, mengharuskan, dan mewajibkan). Bahkan al-Syaukani memaknainya sebagai amara amr[an] jazm[an] wa hukm[an] qath[an] hatma[an] mubrim[an] (memerintahkan dengan perintah yang pasti, hukum yang qath’i, dan keputusan yang pasti).
Perkara yang diperintahkan dalam ayat ini adalah: allâ ta’budû illâ iyyâhu (supaya kamu jangan menyembah selain Dia). Bahwa manusia hanya boleh menyembah dan beribadah kepada Allah SWT. Tidak boleh sama sekali menyembah selain-Nya dan menyekutukan-Nya dengan yang lain (lihat QS al-Nisa’ [4]: 36). Berkenaan dengan ayat ini, Sihabuddin al-Alusi berkata, “Dan Allah SWT memerintahkan agar tidak menyembah selain-Nya karena ‘ibadah merupakan ghâyat al-ta’zhîm (puncak pengagungan). Dan ini tidak layak kecuali kepada Dzat yang memiliki puncak keagungan, Pemberi nikmat dengan berbagai kenimatan yang besar. Dan selain Allah SWT tidaklah denikian.” Penjelasan senada juga dikemukakan Fakhruddin al-Razi dalam al-Tafsîr al-Kabîr.
Perintah ini berlaku untuk seluruh manusia. Tidak ada seorang pun Rasul pun diutus kecuali dia menyampaikan perintah ini (lihat QS al-Nahl [16]: 36 dan al-Anbiya’ [21]: 26). Sebaliknya, tindakan menyekutukan-Nya dengan lain merupakan dosa besar yang –apabila hingga mati tidak bertaubat– tidak terampuni (lihat QS al-Nisa’ [4]: 48, 116). Pelakunya diharamkan surga atasnya dan tempatnya adalah neraka (lihat QS al-Maidah [5]: 72).
Perintah berikutnya adalah: wa bi al-wâlidayni ihsân[an] (dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya). Jika terhadap Allah SWT diperintahkan beribadah, maka terhadap sesama makhluk-Nya diperintahkan berbuat ihsan dan belas kasihan. Dan orang yang paling berhak mendapatkannya adalah orang tua. Sebab, merekalah yang paling banyak berjasa. Sementara bersyukur kepada pemberi nikmat adalah wajib. Allah SWT berfirman: Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu (TQS Luqman [31]: 14). Rasulullah SAW juga bersabda: Man lam yasykur al-nâs lam yasykuril-Lâh (barangsiapa yang tidak bersyukur kepada manusia, maka dia tidak bersyukur kepada Allah, HR al-Tirmidzi dan Ahmad dari Abu Sai’d al-Khudri).
Didahulukannya kata al-wâlidayn menunjukkan syiddah al-ihtimâm (kuatnya perhatian). Sedangkan digunakan ihsân[an] dalam bentuk nakirah, menunjukkan al-ta’zhîm. Artinya, Tuhanmu memerintahkan agar kalian berbuat baik kepada kedua orang tuamu dengan kebaikan yang agung lagi sempurna. Demikian penjelasan Fakhruddin al-Razi.
Beberapa Hak Orang Tua
Kemudian Allah SWT berfirman: Immâ yablughanna ‘indaka al-kibara ahaduhumâ aw kilâhumâ (jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu). Dijelaskan Abdurrahman al-Sa’di, frasa ini bermakna, “Jika keduanya telah sampai pada usia yang telah lemah kekuatannya dan membutuhkan kasih sayang dan ihsân.” Menurut al-Syaukani, disebutkannya secara khusus ketika al-kibar (usia lanjut) karena pada saat itu perbuatan baik dari anak lebih dibutuhkan daripada yang lain.
Tatkala dalam keadaan demikian, seorang anak diserukan: falâ taqul lahumâ uff (maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “uffin). Menurut Abu Hayyan al-Andalusi, kata al-uff merupakan ism fi’l yang bermakna atadhajjaru (saya bosan, saya jemu). Tidak jauh berbeda, al-Zuhaili juga menyatakan bahwa kata tersebut menunjukkan keengganan dan keberatan. Dengan demikian –sebagaimana diterangkan al-Syaukani–, seorang anak tidak boleh menampakkan keengganan atau keberatannya terhadap orang tua. Kendati yang disebutkan dalam ayat ini larangan berkata uff[in], namun mafhûm al-muwâfaqah (makna tersirat yang sejalan) dengannya mencakup semua perkataan dan tindakan yang dapat menyakiti hati orang tua.
Kesimpulan ini kian dikukuh dalam frasa selanjutnya: walâ tanhar humâ (dan janganlah kamu membentak mereka). Kata tanhar berasal dari kata al-nahr yang berarti al-zajr bi al-ghilthah (membentak dengan marah). Demikian penjelasan al-Zuhaili dalam al-Tafsîr al-Munîr. Tidak jauh berbeda, Ibnu ‘Athiyah juga menuturkan bahwa al-intihâr berarti menampakkan kemarahan dalam suara dan ucapan. Seorang anak dilarang untuk berlaku demikian terhadap orang tuanya.
Sebaliknya, manusia diperintahkan: waqul lahumâ qawl[an] karîm[an] (dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia). Menurut al-Qurthubi, qawl[an] karîm[an] berarti qawl[an] lathîfa (perkataan yang lembut). Fakhruddin menafsirkannya sebagai perkataan yang disertai dengan al-ta’zhîm wa al-ihtirâm (memulyakan dan penghormatan).
Tidak hanya dalam ucapan, namun bersikap baik itu juga mewujud dalam perbuatan. Dalam ayat berikutnya ditegaskan: wahfidh lahumâ janâh al-dzull min al-rahmah (dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan, TQS al-Isra’ [17]: 24). Menurut al-Razi, ungkapan dalam ayat ini bermakna melebihkan tawadhu’. Kata min al-rahmah menunjukkan bahwa sikap tawadlu’ itu disebabkan oleh besarnya kasih sayang dan belas kasihan kepada keduanya karena telah tua dan lemahnya mereka.
Diperintahkan pula untuk mendoakan mereka. Allah SWT berfirman: Dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil” (TQS al-Isra’ [17]: 24). Perintah untuk mendoakan mereka agar diberikan rahmat dari-Nya itu berlaku baik keduanya masih hidup maupun sudah meninggal. Khusus bagi orang tua musyrik yang sudah meninggal, dilarang untuk mendoakannya, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT: Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahanam (TQS al-Taubah [9]: 113).
Itulah akhlak yang diajarkan oleh Islam kepada manusia dalam bersikap dengan orang tua mereka. Sebagamana layaknya kewajiban, siapa pun yang melakukannya akan mendapatkan pahala dan ridha-Nya. Sebaliknya, siapa pun yang melanggarnya, bahkan berlaku durhaka kepada orang tuanya akan diganjar dengan siksa yang pedih. Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai al-kabâir (dosa besar). Beliau menjawab “Menyekutukan Allah.” “Lalu apa lagi?” Beliau bersabda, “‘uqûq al-wâlidayn (durhaka kepada orang tua). Semoga kita tidak termasuk di dalamnya. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.
Ikhtisar:
  1. Wajib bagi manusia berbuat baik kepada orang tuanya, terlebih ketika usia mereka sudah lanjut
  2. Sikap anak terhadap orang tuanya: (1) tidak berkata yang menyakitkan hati mereka; (2) tidak membentak mereka; (3) harus berkata dengan perkataan yang mulia; (4) bersikap tawadlu; (5) mendoakan mereka
(globalmuslim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar